Eddy Susanto

The Last Supper

125 cm x 400 cm

Mixed media

2016

The Last Supper yang di buat oleh Leonardo Da Vinci dan Ramalan Jongko Joyoboyo yang sama-sama hadir di waktu abad 16 ini. Membuat Eddy Susanto terinspirasi menggabungkan dua kisah tersebut.

Cerita Ramalan Jongko Joyoboyo sendiri merupakan kisah mimpi Raja Hindu yang bisa melihat masa depan. Yang dia lihat adalah kiamat nya Pulau Jawa. Dan kisah The Last Supper adalah perjamuan makan malam terakhir Tuhan Yesus bersama murid-murid Nya.

_______________

Eddy Susanto adalah perupa Indonesia yang praktik risetnya mendalami narasi sejarah dan proses pembentukan identitas. Dia terkenal karena pengerjaan ulang potongan kayu dan ukiran oleh seniman Renaisans Jerman Albrecht Dürer, memusatkan masyarakat Jawa dalam konstelasi global pertukaran seni dan budaya. Eddy Susanto mempelajari desain grafis di Institut Seni Indonesia di Yogyakarta sebelum menjadi desainer komersial dan ilustrator buku. Karya-karyanya mengacu pada sejarah dan praksis cetak di seluruh dunia, sering menyelaraskan peristiwa sejarah dan interpretasi agama dengan referensi Jawa.Java of Dürer (2011), yang memenangkan Susanto Bandung Contemporary Art Award yang bergengsi tahun itu, mengapropriasi The Men’s Bath karya Albrecht Dürer ( 1496) dengan menguraikan gambar tersebut dalam naskah hanacaraka abad ke-15. Ditorehkan dengan cermat dengan pena di atas kanvas, karya tersebut mengkorelasikan kisah kedatangan Islam di Jawa pada abad ke-14 dengan Renaisans Eropa. Dengan demikian, Susanto menunjuk pada transformasi radikal yang terjadi pada saat itu di setiap daerah, memposisikan kembali teks suci Jawa dalam sejarah seni rupa Barat.

Susanto terus menerapkan teknik ini pada rangkaian lukisan selanjutnya, menggabungkan bagian-bagian penting Jawa dari Babad Tanah Jawi, Mahabharata, dan Ramayana ke dalam penafsiran ulang ukiran Perjanjian Lama Dürer, serta cetakan oleh Marcantonio Raimondi dan Theodor de Bry. Dia sangat tertarik pada adegan dan teks perubahan dan perjumpaan sejarah — terutama yang mewakili subjek timur — menambang seni, sastra, dan sains untuk komposisi. Pada 2015, Eddy Susanto memamerkan Java Script di Galeri Nasional Indonesia di Jakarta Pusat. Menggambar kesejajaran antara aksara Jawa dan bahasa pemrograman JavaScript, sang seniman membayangkan situs web seperti Google, Facebook, Baidu, dan Amazon sebagai manuskrip bercahaya dari Abad Pertengahan. Mengganti teks Latin dan Cina dengan yang berbahasa Jawa, dan menampilkan perangkat ornamen Indonesia, Susanto secara halus menunjukkan bahwa masyarakat kita yang semakin didorong oleh teknologi mengabaikan pengetahuan lokal dan leluhur, meskipun mereka tertanam dalam dorongan pemahaman dan konektivitas yang sama. Eddy Susanto saat ini berbasis di Yogyakarta.